Sudah setengah tahun lamanya aku
bersekolah di SMA ini, tidak banyak yang berubah semenjak itu. Ruangan kelas
dengan 2 papan tulis gantung, lantai yang sudah usang, beratap tembok dan
jendela dengan ventilasi dimana-mana. Yah, cukup nyaman untuk belajar. Ditambah
teman-teman bermainku, rasanya kelas ini bagaikan rumah keduaku.
Hidupku
normal seperti siswa kebanyakan. Namaku Arman, duduk di kelas X-d. Temanku
banyak, tapi aku punya teman-teman terbaik. Ada Ian, Dedi, dan 1 orang
perempuan, namanya Ina. Aku dan Ian kami bertetangga, sedangkan Dedi dan Ina,
mereka orang baru di kehidupanku. Kami selalu berempat, kemana-mana selalu
bersama, kurang lebih dalam 6 bulan ini.
Selepas
sekolah biasanya kami berkumpul di rumah Ina. Sekedar makan siang atupun
belajar bersama, sudah jadi kebiasaan setiap harinya. Ian dan Dedi selalu
bermain gitar di rumah Ina. Aku tidak seperti mereka para musisi sejati, dulu
waktu hanya ada aku dan Ian, kami sering bermain musik bersama, Ian dengan alunan
gitarnya dan aku membantunya dengan menyanyi. Dedi juga memliki hobi yang sama
dengan Ian, gitar. Dan Ina, dia mungkin hanya pelengkap di dalam perkumpulan
ini, tapi dia selalu mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumahnya.
Hari
ini pun berlalu seperti biasa. Bel sekolah berbunyi tepat jam 11 siang, tanda
sekolah berakhir. Bagi yang belum tahu, sekolah kami ini dimulai dari jam 5
pagi. Masih ada waktu sebelum dzuhur, biasanya ku habiskan tidur-tiduran di
Masjid, atau langsung ke rumahnya Ina.
“man,
mau langsung ke Ina apa nanti abis sholat dzuhur?” Dedi menyapaku.
“biasa…”
jawabku “ntar gue sms deh…”
Itu
memang jawaban dari mulutku, tapi bukan hati ku. Sebenarnya hari ini aku tidak
berniat pergi bermain ke rumah Ina. Bukan karena ada urusan mendadak atau
semacamnya. Tapi satu hal, Windu.
Namanya
Windu. Anak perempuan dengan tampilan biasa-biasa saja. Rambutnya coklat sampai
ke bahu dan terurai. Tingginya semampai, tidak terlalu pendek, tapi masih
terbilang agak pendek. Dia bukan anak
anti-sosial walaupun sering terlihat menyendiri dan tidak banyak berbicara. Dia
bermain dan mengobrol sama seperti yang lain, hanya saja dia seperti tidak suka
bicara bila tidak diajak, yaa, seperti tidak mau memulai pembicaraan. Dan yang
ku tahu, dia tidak punya 3 orang yang ku punya sekarang.
Untuk beberapa hal, Windu menarik
perhatianku. Bukan karena wajah atau semacamnya, ku akui memang sedikit menarik
tapi jelas dia bukan tipeku, tipeku berkacamata, Windu tidak.
Hari ini seperti biasa, Aku, Dedi,
Ian dan Ina kami terpencar menjadi 4 kelompok dan berpisah menuju rumah
masing-masing. Biasanya jam 1 siang masing-masing dari kami semua sudah berkumpul
di rumah Ina, yang kebetulan atau tidak, berdekatan dengan rumah Windu. Dan
rencanaku hari ini jam 11.30, aku di rumah Windu. Entahlah, mungkin memang ada
yang salah dengan ku hari ini. Tapi aku berani sumpah, hari ini yang ada di
otak ku, cuma Windu.
Caranya menatap saat kuhampiri dia
agak beku, dingin. Gerak-geriknya dalam membereskan buku dan memasukannya ke
dalam tas agak lambat, tapi aku melihatnya agak lain, ayu.
“eh win, ngerjain PR Bahasa
Indonesia bareng yuk! Gue boleh ke rumah lu gak?” sapa ku sekenanya.
“dateng aja, gapapa kok…” katanya
lembut dengan muka datar.
Waw! Tidak kusangka semudah ini, aku
ingat jelas, hanya sekali dua kali dalam 1 semester ini aku bercakap-cakap
dengannya. Dan ternyata di luar dugaanku, semudah ini mengajak seorang lawan
jenis main ke rumah di masa SMA. Hampir tak percaya rasanya, ada sedikit
gejolak dalam hatiku, rasa senang. Entah mengapa.
“di rumah ada siapa aja emangnya?”
tanyaku sok akrab.
“biasanya sepi, paling mamah. Kamu
bawa laptop kan, man?”
Caranya mengucapkan “mamah” dan
“kamu” membuatku melayang, imut. Entah mengapa.
“di rumah aku, komputernya di ruang
tengah soalnya.” katanya.
“iya bawa kok, santai aja…”
Lalu aku pun berpikir. Memang
kenapa kalau di ruang tengah, pikirku. Oh atau mungkin maksudnya agar kita
belajar berdua, berdua saja, hanya berdua, di kamar. Aku berharap.
Ku lewati jalan setapak ini, aku
hapal betul jalan ini, wajar saja, hampir setiap hari saat ingin ke rumah Ina
aku lewat sini. Tapi kali ini aku berjalan bersama Windu, ke arah rumahnya.
Ini rumah Windu, tipe minimalis
tanpa pagar pembatas. Tembok rumahnya langsung menghadap ke jalan setapak,
sangat dekat dengan rumah Ina. Kulihat jam dengan khawatir, 11.26. Fuh,
pikirku. Untung pas gak ketemu sama Ina. Jam segini pasti Ina udah di dalem
rumah, pikirku. Windu sangat sopan mengajak ku masuk ke dalam rumahnya walau
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ku perhatikan rumahnya, agak gelap tanpa
lampu yang dinyalakan sama sekali. Wajarlah, ini kan siang hari, masalahnya
hanya tidak banyak jendela yang terbuka. Rumahnya juga sangat sepi, Bahkan aku
tak melihat Ibunya di rumah.
“mamah kamu di mana, win?”
“di kamar, jam segini mamah
biasanya belum keluar kamar…”
Hanya basa-basi, aku tidak begitu
peduli apapun jawabannya. Yang kutahu, kami terus berjalan, terus sampai menuju
pojok rumah. Ada sebuah pintu kamar,
normal, tidak kelihatan terlalu mencolok. Sangat berbeda bila dibandingkan
dengan pintu kamar Ina.
Kami berdua masuk ke kamar tersebut, Windu hanya mengambil beberapa barang dari lemarinya lalu langsung pergi. Aku ditinggal sendirian, dan otak ku mulai bekerja. Ini kamar perempuan, pikirku. Hanya ada 1 buah kasur ukuran sedang di kamar ini, ini menandakan kamar ini dipakai 1 orang saja. Lemari dengan kaca sama persis dengan yang dimiliki Ibuku, hanya saja lebih kecil. Meja rias dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Tidak ada TV, radio, AC bahkan kipas angin ataupun barang-barang elektronik sejenisnya. Dan ada sebuah jendela yang terbuka keluar, menghadap ke jalanan dengan teras rumah Ina yang terlihat jelas.
Kami berdua masuk ke kamar tersebut, Windu hanya mengambil beberapa barang dari lemarinya lalu langsung pergi. Aku ditinggal sendirian, dan otak ku mulai bekerja. Ini kamar perempuan, pikirku. Hanya ada 1 buah kasur ukuran sedang di kamar ini, ini menandakan kamar ini dipakai 1 orang saja. Lemari dengan kaca sama persis dengan yang dimiliki Ibuku, hanya saja lebih kecil. Meja rias dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Tidak ada TV, radio, AC bahkan kipas angin ataupun barang-barang elektronik sejenisnya. Dan ada sebuah jendela yang terbuka keluar, menghadap ke jalanan dengan teras rumah Ina yang terlihat jelas.
Aku baru tersadar. Jelas-jelas
kamar ini sangat dekat dengan rumah Ina, dengan teras rumahnya, tempat dimana
aku, Dedi, Ian dan Ina menghabiskan sepanjang hari bersama. Tapi tak pernah
kuduga sedekat ini. Aku jadi agak takut, bagaimana kalau mereka tahu? Oh dan
aku juga baru teringat, sms Dedi, harus sms Dedi, pikirku.
Sedang asyik aku dengan HP-ku,
Windu masuk. Dia mengganti pakaiannya, seragam SMA sudah tidak lagi
dikenakannya. Dia mengenakan sweater rajutan berwarna coklat, ditambah rok pink
sampai ke lutut. Aku terperanga, dia hanya duduk di belakangku dan tidak
melakukan apa-apa. Kumulai dengan sedikit pertanyaan kepadanya.
“meja belajarnya aku pakai, ya?
Langsung ngerjain aja tugasnya. Sama pinjem listriknya, ya? Pakai laptop
soalnya…” kataku salah tingkah
Ku nyalakan laptopku, ku
ingat-ingat apa yang dibilang Guru ku tadi tentang tugas ini. Dan untuk sesaat,
aku tidak bisa fokus sama sekali, salah tingkah. Yang kupikirkan hanya Windu.
Bagaimana penampilannya tanpa baju seragam, cara dia duduk dibelakangku, dan
apa yang dia lihat sekarang dari tempatnya. Mungkin sekarang dia sedang
memperhatikanku, pikirku. Ku putar-putar bahuku agar kelihatan lebih tegap,
agar terlihat lebih gagah, aku mau Windu melihatku dengan bagaimana aku mau
melihat diriku dari belakang.
1 menit, 2 menit, penyakitku
kambuh. Aku punya penyakit yang agak sedikit kurang wajar. Bila sudah
berhadapan dengan laptopku, aku seperti mayat hidup, tidak peduli dengan apa
yang ada disekitarku. Hanya fokus ke depan laptop mengerjakan apa yang sudah
aku mulai.
Waktu terus berlalu, jam di laptop
menunjukan angka 14.24, merasa tidak percaya ku cek HP-ku, disana tertulis 02.29
PM. Akhirnya aku tersadar dari semua ketidak sadaran ini. Aku bangun dari kursi
dan berbalik, Windu ada di sana, terbangun dari pembaringan dalam posisi mirip
kucing dan menatapku. Lalu ia berdiri ketika aku menghampirinya.
“mau shalat ni, lupa keasyikan”
kataku cengengesan.
“oh ya udah, ni sajadahnya” sambil
mengulurkan sajadah yang sepertinya dari tadi dipegangnya.
“wudhunya…? Kamar mandi dimana?”
kata ku tidak menghiraukan sajadahnya.
“dekat dapur sebelah kanan…” sambil
menunjuk ke arah yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Segera kutancap gas dan bergegas
menuju keluar pintu kamarnya. Sambil berjalan berkeliling aku berpikir. Kenapa
dia tidak mengingatkan ku untuk shalat?, pikirku. Atau dia sebenarnya mau hanya
saja aku tidak menghiraukannya? Dia memegang sajadah kelihatannya sudah cukup
lama, apa dari tadi dia mencoba memberitahu ku tapi tidak berani? Dia sudah
shalat apa belum ya?, pikirku. Aku tidak tahu, aku tidak sadar sama sekali
tidak sadar akan apa yang terjadi dari hampir 3 jam sebelumnya. Pertanyaan
terus melayang dipikiranku. Ku kutuk beberapa kali penyakit ku ini,
menghilangkan sedikit rasa sesal yang tidak masuk akal.
Kembali aku masuk kedalam kamarnya,
kulihat Windu. Sekarang dia berada di dekat laptopku. Ku hampiri dia dan dia
berkata…
“pinjam ya…?” katanya sedikit
meminta.
“pakai aja aku shalat dulu” sambil
mengambil sajadah di atas kasurnya.
Lalu kudengar suara gitar dan tawa
yang tak asing, dari rumah Ina. Cukup jelas dari tempat ku berdiri saat ini
melihat dan mendengar mereka di teras. Aku jadi takut, takut ketahuan berada di
rumah Windu, atau mungkin sebenarnya mereka sudah tahu tapi pura-pura tidak
tahu. Pertanyaan kembali menggema di kepalaku.
Shalat ku akhiri dengan salam. Ku
lipat rapi sajadahnya dan ku masukan ke dalam lemari. Dari kacanya bisa kulihat
dengan jelas sosok Windu di depan laptopku. Dia duduk di tempat ku tadi duduk
saat di depan laptopku, aku menghampirinya. Dan dia tidak bereaksi sama sekali.
Yang kulihat, dia hanya melihat-lihat isi di dalam laptop ku. Tangan kanannya
asyik mengolah mouse dan tangan kirinya diletakannya lebih rendah dari meja
belajarnya. Ku perhatikan wajahnya sangat datar, tidak menunjukan adanya
antusiasme, hanya asyik membuka tutup folder-folder yang ada. Penasaran
kudekati lebih dekat, tapi tetap tidak ada respon sama sekali.
Curiga, lantas aku berlutut di
sebelah kirinya. Ku tatap matanya dalam-dalam, dan aku berpikir. Jangan-jangan
dia sama sepertiku, punya kelainan, pikirku. Ku dekati lagi dia masih dalam
posisi berlutut, kali ini sangat dekat. Sangat amat dekat sampai tepat
disebalah bahu kirinya. Aku bisa melihatnya lebih jelas dari sini. Mata ku
terpana melihat wajahnya dari sini. Tangan kirinya cukup rendah, hingga aku
bisa melihat lekuk payudaranya yang terbungkus sweater dengan cukup jelas .
Sweater rajutan ini membuat imajinasiku melayang. Kuberanikan diri untuk
mendekatkan kepala ku dengan dadanya, cukup dekat, aku bisa mencium aroma
tubuhnya dari jarak ini. Kujulurkan hidungku sampai menyentuh payudaranya yang
ranum, ku hirup aromanya kuat-kuat. Cukup lama aku berada pada posisi yang
harusnya bisa membuat dia gelisah, kutatap wajahnya, dan tidak ada perubahan
dalam raut mukanya.
Ku pikir cukup aman buat ku
sekarang untuk mulai menggunakan bibirku pada payudaranya. Perlahan kuciumi
payudara kirinya, tangan ku ikut membantu memerasnya kecil. Aku bahkan tidak
pernah tahu bagaimana rasanya sekarang ini. Aku mulai agresif dan memeluk
pinggangnya sambil terus bermain dengan payudaranya. Sampai tiba-tiba dia bertanya.
“kamu punya lagu-lagu coklat gak?”
tanyanya.
Aku kaget, tapi tidak ku ubah
posisi ku. Kulihat dia masih dalam raut wajah yang sama seperti sebelumnya.
Bahkan tubuhnya, tak kurasakan ada pergerakan sedikitpun selain tangan kanan
yang menggoyangkan mouse.
“wah aku paling punya lagu-lagu
jepang aja.” Jelasku “paling ada beberapa lagu indo di folder musik…”
Kami terdiam. Aku berhenti
bergerak, dan dia berhenti berbicara. Jantungku rasanya mau copot. Apa yang
barusan tadi?, pikirku. Aku disini, tepat di daerah sensitifnya, dan dia
seperti orang yang tidak sadar. Ada yang salah, sesuatu yang tidak sama dengan
kelainan ku. Kupikir dia pasti sadar bila ada di depan laptop, yang tidak aku
habis pikir adalah tindakanku dari tadi tidak membuatnya marah sama sekali,
jangankan marah merubah raut muka pun tidak.
Dalam bingung ku, nafsu ku
menguasai ku. Kembali ku manfaatkan momen ini tanpa memikirkan konsekuensi ke
depannya. Kupergunakan tangan kanan ku. Ku pegang punggungnya dan ku elus turun
sampai ke bawah. Jari-jari ku mulai mencari celah diantara sweater dan roknya
yang berujung pada masuknya tangan ku kedalam roknya. Dari belakang terus ku
usap-usapkan tanganku mencari jalan yang lebih dalam. Aku tidak tahu apa yang
tangan kanan ku lakukan di tempat ini.
Namun kemudian dia berdiri, aku
terjatuh ke belakang. Kaget dan takut, itu yang kurasakan saat ini. Apa aku
sudah kelewatan?, pikirku. Tapi dia hanya pergi begitu saja keluar dari kamar.
Aku takut, sampai ku dengar suara dari kamar mandinya. Oh leganya, pikirku. Aku
sudah menonton banyak hentai untuk tahu kemana semua ini akan berakhir, Windu
akan mandi dahulu. Dan aku hanya tinggal menunggunya di atas kasur. Ini suka
sama suka, pikirku. Windu pasti tadi menikmatinya, dan puncaknya saat kumainkan
tangan kanan ku. Pikiranku melayang, rasanya tidak percaya.
Dalam kesenangan ku, tiba-tiba ada
sesosok di depan pintu, bukan Windu. Itu Ibunya. Dia masuk ke dalam
menghampiriku. Aku polos saja dan tersenyum. Dia terlihat baik, senyumnya ramah
dan hangat. Dia terus menghampiriku dan mengeluarkan uang sebesar 20 ribu
rupiah. Diberikannya kepadaku.
“lho apa ini, bu?” aku kebingungan.
“gak usah, bu…”
“udah ambil aja, hehehe…” katanya
dengan nada yang sangat rendah.
Lalu dia pergi. Aku ditinggalnya
sendirian dalam kebingungan. Apa ini?, pikirku. Keluarga macam apa ini? Anaknya
baru saja kulecehkan dan Ibunya memberiku uang 20 ribu? Apa yang salah di
tempat ini?
Kutinggalkan rasa bingungku dan
fokus pada kucuran air yang kudengar dari kamar mandinya. Pasti Windu, pikirku.
Ibunya baru saja kulihat dan katanya tidak ada orang lagi selain Ibunya. Logika
ku mulai berjalan selaras dengan nafsuku. Aku bersiap di atas kasur saat ku
lihat jendela terbuka lebar. Aku mencoba menutupnya agar adegan selanjutnya
hanya milik kami berdua saja, tapi yang kulihat saat ku coba menutup jendela
adalah Ina yang berjalan menghampiriku.
Lalu aku mulai berpikir,
jangan-jangan mereka semua melihat apa yang aku lakukan barusan. Gawat, teriak
ku dalam hati. Ina berjalan ke arah ku, badannya yang besar dan lebar membuat
ku tak mungkin bisa salah mengenalinya dengan orang lain.
“man kok lu ada di sini? Kenapa ga
kumpul ama kita? Ian ama Dedi udah dari abis dzuhur dateng.” Katanya
bertubi-tubi.
“iya, gue udah sms Dedi kok.” Aku
mencoba menjawab secepat yang aku bisa.
“iya tapi lu gak bilang ada di
rumah Windu. Kenapa lu gak bilang? Kan deket.” Katanya lagi.
“Cuma belajar bareng aja kok, tugas
Bahasa Indonesia yang tadi.” Kataku mencoba mengelak.
Ina kelihatannya agak marah. Dia
langsung membuang muka dari jendela dan langsung berada di ambang pintu kamar
Windu. Dibelakangnya ada Ian dan Dedi lengkap dengan gitarnya. Sepertinya
mereka di sambut Ibunya Windu, dan dipersilahkan masuk. Lalu kami duduk bersama
di ruangan itu. Kamar jadi terasa makin sempit dengan hadirnya 3 orang ini.
Kami tidak berbicara satu sama lain, Dedi mulai memetikan senarnya dan Ian yang
mengurus melodinya. Aku dan Ina berakhir mendengarkan lantunan dawai gitar yang
mereka bawakan.
Tak berapa lama Windu masuk. Aku
berharap ada sedikit muka kecewa yang disajikannya melihat 3 orang ini di
kamarnya. Tapi nyatanya tidak, mukanya masih saja datar sedatar wajahnya saat
bibirku menari diatas putingnya. Yang kulihat dia kembali duduk di paling
belakang. Keadaan menjadi sangat canggung. Aku akhirnya menyanyi karena lagu
yang dibawakan Ian dan Dedi bukan lagi lagu-lagu Depapepe. Suasana yang
canggung itu lama-lama mencair, seakan-akan kami ber-4 sedang berada di teras
rumah Ina, bukan di sini di kamar Windu. Kami melakukan banyak hal, bercanda, saling
meledek, teriak, bernyanyi dan semacamnya. Hanya kami ber-4, tanpa Windu, dia
hanya melihat dari sudut kamar. Aku tidak memperhatikannya lagi, aku terbuai
dengan suasana yang rasanya sudah lama sekali tidak aku temui, suasana seperti
ini.
Jam sudah cukup sore, matahari
mulai memerahkan wajahnya di balik bukit-bukit. Ian dan Dedi sudah berdiri dan
berjalan menuju pintu keluar. Ina mengikuti di belakangnya. Mereka semua
sekarang sudah tidak ada. Kembali aku dihadapkan dengan wanita ini, Windu. Dia
masih berbaring di tempat yang sama saat pertama ku acuhkan dia. Dia lalu
bangun dan menatapku. Aku pun bangun, mengambil ranselku di dekatnya dan
memasukan laptop ku kedalam ransel. Posisi ku sudah benar sekarang , untuk
orang yang mau pamit, berdiri dan siap pulang. Kulihat dia masih berpose
seperti itu, seperti kucing, lalu bangun. Mengantar ku keluar dan aku pun
pamit. Di luar rumahnya kulihat dia masuk, dengan sweater rajutan warna coklat
dan rok pink sampai ke bawah lutut, roknya agak turun dari yang pertama kulihat
dia memakainya. Aku pun berkedip di depan rumahnya, dalam kedipan itu teringat
semua yang telah terjadi dalam setengah hari ini. Ku tatap daun pintu rumahnya,
berharap ada seseorang yang melihatku dari balik sana seraya berkata…
“mau gak kamu dan aku belajar
bareng lagi besok…”
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar