Irashaimasen Ojyaku-sama............. Wild Pokemon in Route 67............. Get Chance and Luck............. Carbon Body, Carbon Heart Inside............. Eat More Banana............. blizzard storm in route 113

Jumat, Oktober 19, 2012

Ceritaku Aku Pikiranku dan Dia




Sudah setengah tahun lamanya aku bersekolah di SMA ini, tidak banyak yang berubah semenjak itu. Ruangan kelas dengan 2 papan tulis gantung, lantai yang sudah usang, beratap tembok dan jendela dengan ventilasi dimana-mana. Yah, cukup nyaman untuk belajar. Ditambah teman-teman bermainku, rasanya kelas ini bagaikan rumah keduaku.
                Hidupku normal seperti siswa kebanyakan. Namaku Arman, duduk di kelas X-d. Temanku banyak, tapi aku punya teman-teman terbaik. Ada Ian, Dedi, dan 1 orang perempuan, namanya Ina. Aku dan Ian kami bertetangga, sedangkan Dedi dan Ina, mereka orang baru di kehidupanku. Kami selalu berempat, kemana-mana selalu bersama, kurang lebih dalam 6 bulan ini.
                Selepas sekolah biasanya kami berkumpul di rumah Ina. Sekedar makan siang atupun belajar bersama, sudah jadi kebiasaan setiap harinya. Ian dan Dedi selalu bermain gitar di rumah Ina. Aku tidak seperti mereka para musisi sejati, dulu waktu hanya ada aku dan Ian, kami sering bermain musik bersama, Ian dengan alunan gitarnya dan aku membantunya dengan menyanyi. Dedi juga memliki hobi yang sama dengan Ian, gitar. Dan Ina, dia mungkin hanya pelengkap di dalam perkumpulan ini, tapi dia selalu mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumahnya.
                Hari ini pun berlalu seperti biasa. Bel sekolah berbunyi tepat jam 11 siang, tanda sekolah berakhir. Bagi yang belum tahu, sekolah kami ini dimulai dari jam 5 pagi. Masih ada waktu sebelum dzuhur, biasanya ku habiskan tidur-tiduran di Masjid, atau langsung ke rumahnya Ina.
                “man, mau langsung ke Ina apa nanti abis sholat dzuhur?” Dedi menyapaku.
                “biasa…” jawabku “ntar gue sms deh…”
                Itu memang jawaban dari mulutku, tapi bukan hati ku. Sebenarnya hari ini aku tidak berniat pergi bermain ke rumah Ina. Bukan karena ada urusan mendadak atau semacamnya. Tapi satu hal, Windu.
                Namanya Windu. Anak perempuan dengan tampilan biasa-biasa saja. Rambutnya coklat sampai ke bahu dan terurai. Tingginya semampai, tidak terlalu pendek, tapi masih terbilang agak pendek.  Dia bukan anak anti-sosial walaupun sering terlihat menyendiri dan tidak banyak berbicara. Dia bermain dan mengobrol sama seperti yang lain, hanya saja dia seperti tidak suka bicara bila tidak diajak, yaa, seperti tidak mau memulai pembicaraan. Dan yang ku tahu, dia tidak punya 3 orang yang ku punya sekarang.
Untuk beberapa hal, Windu menarik perhatianku. Bukan karena wajah atau semacamnya, ku akui memang sedikit menarik tapi jelas dia bukan tipeku, tipeku berkacamata, Windu tidak.
Hari ini seperti biasa, Aku, Dedi, Ian dan Ina kami terpencar menjadi 4 kelompok dan berpisah menuju rumah masing-masing. Biasanya jam 1 siang masing-masing dari kami semua sudah berkumpul di rumah Ina, yang kebetulan atau tidak, berdekatan dengan rumah Windu. Dan rencanaku hari ini jam 11.30, aku di rumah Windu. Entahlah, mungkin memang ada yang salah dengan ku hari ini. Tapi aku berani sumpah, hari ini yang ada di otak ku, cuma Windu.
Caranya menatap saat kuhampiri dia agak beku, dingin. Gerak-geriknya dalam membereskan buku dan memasukannya ke dalam tas agak lambat, tapi aku melihatnya agak lain, ayu.
“eh win, ngerjain PR Bahasa Indonesia bareng yuk! Gue boleh ke rumah lu gak?” sapa ku sekenanya.
“dateng aja, gapapa kok…” katanya lembut dengan muka datar.
Waw! Tidak kusangka semudah ini, aku ingat jelas, hanya sekali dua kali dalam 1 semester ini aku bercakap-cakap dengannya. Dan ternyata di luar dugaanku, semudah ini mengajak seorang lawan jenis main ke rumah di masa SMA. Hampir tak percaya rasanya, ada sedikit gejolak dalam hatiku, rasa senang. Entah mengapa.
“di rumah ada siapa aja emangnya?” tanyaku sok akrab.
“biasanya sepi, paling mamah. Kamu bawa laptop kan, man?”
Caranya mengucapkan “mamah” dan “kamu” membuatku melayang, imut. Entah mengapa.
“di rumah aku, komputernya di ruang tengah soalnya.” katanya.
“iya bawa kok, santai aja…”
Lalu aku pun berpikir. Memang kenapa kalau di ruang tengah, pikirku. Oh atau mungkin maksudnya agar kita belajar berdua, berdua saja, hanya berdua, di kamar. Aku berharap.
Ku lewati jalan setapak ini, aku hapal betul jalan ini, wajar saja, hampir setiap hari saat ingin ke rumah Ina aku lewat sini. Tapi kali ini aku berjalan bersama Windu, ke arah rumahnya.
Ini rumah Windu, tipe minimalis tanpa pagar pembatas. Tembok rumahnya langsung menghadap ke jalan setapak, sangat dekat dengan rumah Ina. Kulihat jam dengan khawatir, 11.26. Fuh, pikirku. Untung pas gak ketemu sama Ina. Jam segini pasti Ina udah di dalem rumah, pikirku. Windu sangat sopan mengajak ku masuk ke dalam rumahnya walau tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ku perhatikan rumahnya, agak gelap tanpa lampu yang dinyalakan sama sekali. Wajarlah, ini kan siang hari, masalahnya hanya tidak banyak jendela yang terbuka. Rumahnya juga sangat sepi, Bahkan aku tak melihat Ibunya di rumah.
“mamah kamu di mana, win?”
“di kamar, jam segini mamah biasanya belum keluar kamar…”
Hanya basa-basi, aku tidak begitu peduli apapun jawabannya. Yang kutahu, kami terus berjalan, terus sampai menuju pojok rumah. Ada  sebuah pintu kamar, normal, tidak kelihatan terlalu mencolok. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan pintu kamar Ina.
                Kami berdua masuk ke kamar tersebut, Windu hanya mengambil beberapa barang dari lemarinya lalu langsung pergi. Aku ditinggal sendirian, dan otak ku mulai bekerja. Ini kamar perempuan, pikirku. Hanya ada 1 buah kasur ukuran sedang di kamar ini, ini menandakan kamar ini dipakai 1 orang saja. Lemari dengan kaca sama persis dengan yang dimiliki Ibuku, hanya saja lebih kecil. Meja rias dan meja belajar lengkap dengan kursinya. Tidak ada TV, radio, AC bahkan kipas angin ataupun barang-barang elektronik sejenisnya. Dan ada sebuah jendela yang terbuka keluar, menghadap ke jalanan dengan teras rumah Ina yang terlihat jelas.
Aku baru tersadar. Jelas-jelas kamar ini sangat dekat dengan rumah Ina, dengan teras rumahnya, tempat dimana aku, Dedi, Ian dan Ina menghabiskan sepanjang hari bersama. Tapi tak pernah kuduga sedekat ini. Aku jadi agak takut, bagaimana kalau mereka tahu? Oh dan aku juga baru teringat, sms Dedi, harus sms Dedi, pikirku.
Sedang asyik aku dengan HP-ku, Windu masuk. Dia mengganti pakaiannya, seragam SMA sudah tidak lagi dikenakannya. Dia mengenakan sweater rajutan berwarna coklat, ditambah rok pink sampai ke lutut. Aku terperanga, dia hanya duduk di belakangku dan tidak melakukan apa-apa. Kumulai dengan sedikit pertanyaan kepadanya.
“meja belajarnya aku pakai, ya? Langsung ngerjain aja tugasnya. Sama pinjem listriknya, ya? Pakai laptop soalnya…” kataku salah tingkah
Ku nyalakan laptopku, ku ingat-ingat apa yang dibilang Guru ku tadi tentang tugas ini. Dan untuk sesaat, aku tidak bisa fokus sama sekali, salah tingkah. Yang kupikirkan hanya Windu. Bagaimana penampilannya tanpa baju seragam, cara dia duduk dibelakangku, dan apa yang dia lihat sekarang dari tempatnya. Mungkin sekarang dia sedang memperhatikanku, pikirku. Ku putar-putar bahuku agar kelihatan lebih tegap, agar terlihat lebih gagah, aku mau Windu melihatku dengan bagaimana aku mau melihat diriku dari belakang.
1 menit, 2 menit, penyakitku kambuh. Aku punya penyakit yang agak sedikit kurang wajar. Bila sudah berhadapan dengan laptopku, aku seperti mayat hidup, tidak peduli dengan apa yang ada disekitarku. Hanya fokus ke depan laptop mengerjakan apa yang sudah aku mulai.
Waktu terus berlalu, jam di laptop menunjukan angka 14.24, merasa tidak percaya ku cek HP-ku, disana tertulis 02.29 PM. Akhirnya aku tersadar dari semua ketidak sadaran ini. Aku bangun dari kursi dan berbalik, Windu ada di sana, terbangun dari pembaringan dalam posisi mirip kucing dan menatapku. Lalu ia berdiri ketika aku menghampirinya.
“mau shalat ni, lupa keasyikan” kataku cengengesan.
“oh ya udah, ni sajadahnya” sambil mengulurkan sajadah yang sepertinya dari tadi dipegangnya.
“wudhunya…? Kamar mandi dimana?” kata ku tidak menghiraukan sajadahnya.
“dekat dapur sebelah kanan…” sambil menunjuk ke arah yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Segera kutancap gas dan bergegas menuju keluar pintu kamarnya. Sambil berjalan berkeliling aku berpikir. Kenapa dia tidak mengingatkan ku untuk shalat?, pikirku. Atau dia sebenarnya mau hanya saja aku tidak menghiraukannya? Dia memegang sajadah kelihatannya sudah cukup lama, apa dari tadi dia mencoba memberitahu ku tapi tidak berani? Dia sudah shalat apa belum ya?, pikirku. Aku tidak tahu, aku tidak sadar sama sekali tidak sadar akan apa yang terjadi dari hampir 3 jam sebelumnya. Pertanyaan terus melayang dipikiranku. Ku kutuk beberapa kali penyakit ku ini, menghilangkan sedikit rasa sesal yang tidak masuk akal.
Kembali aku masuk kedalam kamarnya, kulihat Windu. Sekarang dia berada di dekat laptopku. Ku hampiri dia dan dia berkata…
“pinjam ya…?” katanya sedikit meminta.
“pakai aja aku shalat dulu” sambil mengambil sajadah di atas kasurnya.
Lalu kudengar suara gitar dan tawa yang tak asing, dari rumah Ina. Cukup jelas dari tempat ku berdiri saat ini melihat dan mendengar mereka di teras. Aku jadi takut, takut ketahuan berada di rumah Windu, atau mungkin sebenarnya mereka sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu. Pertanyaan kembali menggema di kepalaku.
Shalat ku akhiri dengan salam. Ku lipat rapi sajadahnya dan ku masukan ke dalam lemari. Dari kacanya bisa kulihat dengan jelas sosok Windu di depan laptopku. Dia duduk di tempat ku tadi duduk saat di depan laptopku, aku menghampirinya. Dan dia tidak bereaksi sama sekali. Yang kulihat, dia hanya melihat-lihat isi di dalam laptop ku. Tangan kanannya asyik mengolah mouse dan tangan kirinya diletakannya lebih rendah dari meja belajarnya. Ku perhatikan wajahnya sangat datar, tidak menunjukan adanya antusiasme, hanya asyik membuka tutup folder-folder yang ada. Penasaran kudekati lebih dekat, tapi tetap tidak ada respon sama sekali.
Curiga, lantas aku berlutut di sebelah kirinya. Ku tatap matanya dalam-dalam, dan aku berpikir. Jangan-jangan dia sama sepertiku, punya kelainan, pikirku. Ku dekati lagi dia masih dalam posisi berlutut, kali ini sangat dekat. Sangat amat dekat sampai tepat disebalah bahu kirinya. Aku bisa melihatnya lebih jelas dari sini. Mata ku terpana melihat wajahnya dari sini. Tangan kirinya cukup rendah, hingga aku bisa melihat lekuk payudaranya yang terbungkus sweater dengan cukup jelas . Sweater rajutan ini membuat imajinasiku melayang. Kuberanikan diri untuk mendekatkan kepala ku dengan dadanya, cukup dekat, aku bisa mencium aroma tubuhnya dari jarak ini. Kujulurkan hidungku sampai menyentuh payudaranya yang ranum, ku hirup aromanya kuat-kuat. Cukup lama aku berada pada posisi yang harusnya bisa membuat dia gelisah, kutatap wajahnya, dan tidak ada perubahan dalam raut mukanya.
Ku pikir cukup aman buat ku sekarang untuk mulai menggunakan bibirku pada payudaranya. Perlahan kuciumi payudara kirinya, tangan ku ikut membantu memerasnya kecil. Aku bahkan tidak pernah tahu bagaimana rasanya sekarang ini. Aku mulai agresif dan memeluk pinggangnya sambil terus bermain dengan payudaranya. Sampai tiba-tiba dia bertanya.
“kamu punya lagu-lagu coklat gak?” tanyanya.
Aku kaget, tapi tidak ku ubah posisi ku. Kulihat dia masih dalam raut wajah yang sama seperti sebelumnya. Bahkan tubuhnya, tak kurasakan ada pergerakan sedikitpun selain tangan kanan yang menggoyangkan mouse.
“wah aku paling punya lagu-lagu jepang aja.” Jelasku “paling ada beberapa lagu indo di folder musik…”
Kami terdiam. Aku berhenti bergerak, dan dia berhenti berbicara. Jantungku rasanya mau copot. Apa yang barusan tadi?, pikirku. Aku disini, tepat di daerah sensitifnya, dan dia seperti orang yang tidak sadar. Ada yang salah, sesuatu yang tidak sama dengan kelainan ku. Kupikir dia pasti sadar bila ada di depan laptop, yang tidak aku habis pikir adalah tindakanku dari tadi tidak membuatnya marah sama sekali, jangankan marah merubah raut muka pun tidak.
Dalam bingung ku, nafsu ku menguasai ku. Kembali ku manfaatkan momen ini tanpa memikirkan konsekuensi ke depannya. Kupergunakan tangan kanan ku. Ku pegang punggungnya dan ku elus turun sampai ke bawah. Jari-jari ku mulai mencari celah diantara sweater dan roknya yang berujung pada masuknya tangan ku kedalam roknya. Dari belakang terus ku usap-usapkan tanganku mencari jalan yang lebih dalam. Aku tidak tahu apa yang tangan kanan ku lakukan di tempat ini.
Namun kemudian dia berdiri, aku terjatuh ke belakang. Kaget dan takut, itu yang kurasakan saat ini. Apa aku sudah kelewatan?, pikirku. Tapi dia hanya pergi begitu saja keluar dari kamar. Aku takut, sampai ku dengar suara dari kamar mandinya. Oh leganya, pikirku. Aku sudah menonton banyak hentai untuk tahu kemana semua ini akan berakhir, Windu akan mandi dahulu. Dan aku hanya tinggal menunggunya di atas kasur. Ini suka sama suka, pikirku. Windu pasti tadi menikmatinya, dan puncaknya saat kumainkan tangan kanan ku. Pikiranku melayang, rasanya tidak percaya.
Dalam kesenangan ku, tiba-tiba ada sesosok di depan pintu, bukan Windu. Itu Ibunya. Dia masuk ke dalam menghampiriku. Aku polos saja dan tersenyum. Dia terlihat baik, senyumnya ramah dan hangat. Dia terus menghampiriku dan mengeluarkan uang sebesar 20 ribu rupiah. Diberikannya kepadaku.
“lho apa ini, bu?” aku kebingungan. “gak usah, bu…”
“udah ambil aja, hehehe…” katanya dengan nada yang sangat rendah.
Lalu dia pergi. Aku ditinggalnya sendirian dalam kebingungan. Apa ini?, pikirku. Keluarga macam apa ini? Anaknya baru saja kulecehkan dan Ibunya memberiku uang 20 ribu? Apa yang salah di tempat ini?
Kutinggalkan rasa bingungku dan fokus pada kucuran air yang kudengar dari kamar mandinya. Pasti Windu, pikirku. Ibunya baru saja kulihat dan katanya tidak ada orang lagi selain Ibunya. Logika ku mulai berjalan selaras dengan nafsuku. Aku bersiap di atas kasur saat ku lihat jendela terbuka lebar. Aku mencoba menutupnya agar adegan selanjutnya hanya milik kami berdua saja, tapi yang kulihat saat ku coba menutup jendela adalah Ina yang berjalan menghampiriku.
Lalu aku mulai berpikir, jangan-jangan mereka semua melihat apa yang aku lakukan barusan. Gawat, teriak ku dalam hati. Ina berjalan ke arah ku, badannya yang besar dan lebar membuat ku tak mungkin bisa salah mengenalinya dengan orang lain.
“man kok lu ada di sini? Kenapa ga kumpul ama kita? Ian ama Dedi udah dari abis dzuhur dateng.” Katanya bertubi-tubi.
“iya, gue udah sms Dedi kok.” Aku mencoba menjawab secepat yang aku bisa.
“iya tapi lu gak bilang ada di rumah Windu. Kenapa lu gak bilang? Kan deket.” Katanya lagi.
“Cuma belajar bareng aja kok, tugas Bahasa Indonesia yang tadi.” Kataku mencoba mengelak.
Ina kelihatannya agak marah. Dia langsung membuang muka dari jendela dan langsung berada di ambang pintu kamar Windu. Dibelakangnya ada Ian dan Dedi lengkap dengan gitarnya. Sepertinya mereka di sambut Ibunya Windu, dan dipersilahkan masuk. Lalu kami duduk bersama di ruangan itu. Kamar jadi terasa makin sempit dengan hadirnya 3 orang ini. Kami tidak berbicara satu sama lain, Dedi mulai memetikan senarnya dan Ian yang mengurus melodinya. Aku dan Ina berakhir mendengarkan lantunan dawai gitar yang mereka bawakan.
Tak berapa lama Windu masuk. Aku berharap ada sedikit muka kecewa yang disajikannya melihat 3 orang ini di kamarnya. Tapi nyatanya tidak, mukanya masih saja datar sedatar wajahnya saat bibirku menari diatas putingnya. Yang kulihat dia kembali duduk di paling belakang. Keadaan menjadi sangat canggung. Aku akhirnya menyanyi karena lagu yang dibawakan Ian dan Dedi bukan lagi lagu-lagu Depapepe. Suasana yang canggung itu lama-lama mencair, seakan-akan kami ber-4 sedang berada di teras rumah Ina, bukan di sini di kamar Windu. Kami melakukan banyak hal, bercanda, saling meledek, teriak, bernyanyi dan semacamnya. Hanya kami ber-4, tanpa Windu, dia hanya melihat dari sudut kamar. Aku tidak memperhatikannya lagi, aku terbuai dengan suasana yang rasanya sudah lama sekali tidak aku temui, suasana seperti ini.
Jam sudah cukup sore, matahari mulai memerahkan wajahnya di balik bukit-bukit. Ian dan Dedi sudah berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Ina mengikuti di belakangnya. Mereka semua sekarang sudah tidak ada. Kembali aku dihadapkan dengan wanita ini, Windu. Dia masih berbaring di tempat yang sama saat pertama ku acuhkan dia. Dia lalu bangun dan menatapku. Aku pun bangun, mengambil ranselku di dekatnya dan memasukan laptop ku kedalam ransel. Posisi ku sudah benar sekarang , untuk orang yang mau pamit, berdiri dan siap pulang. Kulihat dia masih berpose seperti itu, seperti kucing, lalu bangun. Mengantar ku keluar dan aku pun pamit. Di luar rumahnya kulihat dia masuk, dengan sweater rajutan warna coklat dan rok pink sampai ke bawah lutut, roknya agak turun dari yang pertama kulihat dia memakainya. Aku pun berkedip di depan rumahnya, dalam kedipan itu teringat semua yang telah terjadi dalam setengah hari ini. Ku tatap daun pintu rumahnya, berharap ada seseorang yang melihatku dari balik sana seraya berkata…
“mau gak kamu dan aku belajar bareng lagi besok…”

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar